Pemikiran Hukum Islam Modern

Sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 M, pemikiran modern dalam Islam muncul di kalangan para pemikir Islam yang menaruh perhatian pada kebangkitan Islam setelah mengalami masa kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M, akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia. Begitu juga dengan pemikiran hukum Islam.

Setelah sekian lama, umat Islam terkurung dalam koloni taklid, yang berakibat perkembangan Islam stagnan. Kemudian timbul keinginan para  pemikir Islam untuk mendobrak dan melawan taklid, dengan kembali membuka pintu ijtihad.

Menurut kaum moderenis, ijtihad adalah interprestasi rasiaonal terahadap Alqu’an untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang. Dan sejarah neo-ijtihad bisa dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M) yang menjadi pengikut mazhab Hanabilah yang juga terkenal tidak punya lelah menetang sikap menerima taklid dengan tanpa melihat dalil. Begitu juga Jamal al-din Al-afghani yang terkenal dengan penyokong reformasi dalam Islam yang menghabiskan hidupnya di Mesir selama delapan tahun dan Muhammad Abduh  yang kemudian menjabat seorang mufti besar di Mesir. Ada beberapa hal yang perlu disadari bahwa, sebenarnya hukum Islam itu elastis, adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :


1.        Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted  segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhluk-Nya.

2.        Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global.

3.        Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.

4.        Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.

5.        Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan atau membantu manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.

Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat. Selain faktor diatas, dalam hukum Islam mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
 
Disamping itu muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya. Sejatinya, ijtihad sudah ada sejak Nabi Muhammad saw masih hidup, hal ini tergambar pada saat beliau mengutus Muaz bin Jabal, ketika Rasul mengirimnya ke Yaman untuk mengajar. Rasul bertanya kepadanya: apa yang kamu perbuat apabila kamu dihadapkan pada suatu persoalan, sedangkan kamu tidak mendapatkan ketentuan hukumnya di dalam kitab Allah dan Sunah Rasulullah? Jawab Muaz: aku akan berijtihad dengan akal dan pikiran. Kemudian Nabi menjawab” segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq”.
 
Demikianlah hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.