Pemikiran Hukum Islam Klasik
Karakter
pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa konsep antara lain:Iza
shahha al-hadīs fahuwa mazhabī (jika hadis itu telah shahīh maka
itulah mazhabku), la masāgha lil ijtihād fi maurid al-nash (masalah
yang telah ada nash tidak boleh lagi diijtihādi). Konsep
populer ini menunjukkan sumber utama hukum Islam klasik adalahnash/teks,
baik Alqur’an atau al-Sunnah.
Hampir semua
masalah bisa terjawab dengan Alqur’an atau al-Sunnah dan patwa para sahabat
Nabi saw. Namun, ketika Islam mulai menyebar ke penjuru dunia, masalah barupun
bermunculan. Maka, tidak bisa lagi mengandalkan nash/teks, baik
Alqur’an atau al-Sunnah secara teks bahasa.
Sedangkan
bahasa yang digunakan dalam Alqur’an atau al-Sunnah adalah bahasa Arab. Jadi,
metode terpenting dalam menggali hukum adalah bahasa. Implikasinya, trend
kajian pemikiran hukum Islam (ushūl al-fiqh) didominasi oleh kaidah
kebahasaan (qāidah lughawiyah) atau logika bahasa (seperti mantiq) yang
deduktif dan sulit menerima perubahan. Sedangkan hukum dari realitas empiris (al-’adat,
syar’u man qablana, dan sains misalnya) dan nalar rasio (istihsān)
menjadi langka dan sulit diterima. Jadi, hukum yang dikeluarkan tidak jauh
berbeda dengan teks Alqur’an atau al-Sunnah.
Para ilmuan mulai berpikir untuk
menghadapi perubahan zaman dan permasalah baru yang dihadapi, sedangkan teks Alqur’an atau al-Sunnah dibisa dipahami apa adanya, apalagi adanya
benturan adat, budaya dan tradisi. Hal ini Perlu
adanya ijtihad atau pemikiran baru (tajdid) para ilmuan.
Jejak tajdid
sebenarnya sudah ada pada jaman para sahabat. Terutama apa yang telah dilakukan
Umar ibn Khattab. Contoh tajdidnya antara lain; tidak
membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada
tentara Muslim yang turut berperang, tetapi justru kepada petani kecil
setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang
menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat
yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar
telah menyimpang dari Alqur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke
mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi
sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada
tentara, yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan
Yahudi yang memusuhi Nabi saw.
Contoh lain; tindakan Umar yang
melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan
Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak
berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari
perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama
diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah. Melihat
contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan Umar adalah
sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan
kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.
Betapapun, ijtihad Umar
menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian negatif pada era
berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya Umar melakukan
kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak meninggalkan nash
al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang ada pada nash itu
untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian yang dihadapi
umat Islam pada masa Umar. Dapat
dikatakan Umar adalah mujaddid pemikir Islam pertama dalam sejarah Islam.
Banyaknya pemikir Islam pada masa ini yang
melakukan ijtihad dan tajdid menjadikan Islam semakin mencapai puncak
keemasannya dibidang ilmu pengetahuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar