Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer
Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August
Comte melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut
teori ini, masyarakat berkembang secara linear dari tahap teologis, metafisik
sampai kepada tahap terakhir, positivistik. Pada dua tahap yang disebutkan
pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam struktur
masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan
direkonsiliasikan
kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran
masyarakat masih sangat sederhana.
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat,
setelah masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari
paham rasionalisme, yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan
tekhnologi. Dilihat dari perspektif filsafat sejarah kontemplatif,
konsep Effat al-Shaqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah
al-Islamiyah (1980), proses perkembangan masyarakat seperti yang
digambarkan Comte merupakan proses gerak maju ke depan.
Dalam hubungannya dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika
masyarakat, telah memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era
globalisasi. Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai satu titik
perhatian; meskipun ia terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan dihuni
oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik
pandang itu karena sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga
jarak tidak lagi berarti dan lancarnya arus informasi sehingga sekat wilayah
dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Globalisasi ini menyebabkan terjadinya perubahan dan pergolakan yang besar
dalam seluruh segi kehidupan.
Meskipun pada saat ini yang dirasakan paling besar adalah pengaruh
dalam bidang ekonomi, tetapi tetap berpengaruh pada bidang kehidupan yang
lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan arti
menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negatif (mudharat)
dengan arti merugikan.
Kita tidak mungkin lari dari arus globalisasi, walaupun takut akan
terkena mudharat yang ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh ummat
Islam adalah meraih sebanyak mungkin manfaat dari globnalisasi dan dalam jangka
waktu yang bersamaan mampu menghindari segala kemungkinan mudharat. Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk
menghadapi arus globalisasi itu, yaitu; pertama, memiliki kemampuan
dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi positif
globalisasi.
Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan manusia tidak
mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi menjadi sumber
malapetaka. Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan yang
ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang terbuka untuk
memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi itu. Di samping itu manusia
harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang ada pada dirinya untuk
memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi
[1] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam
dan Pluralisme Budaya dan Politik, (Cet. II: SIPRESS; Yogyaklarta, 1994),
h. 11.
[2] Amir Syarifuddin, op. cit., h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar