Dasar Pembentukan Undang-Undang



Pembentukan/pembuatan UU pada dasarnya adalah tindakan manasuka (arbitrary). Tidak ada dasar atau landasan apapun yang mengatur hal apa yang akan menjadi materi dari suatu UU. Kriteria apakah suatu materi tertentu layak diatur dalam UU adalah wilayah inisiatif pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden secara bersama-sama.

Penilaian apakah suatu materi atau peristiwa perlu diatur dalam UU atau tidak merupakan penilaian moral dan bersifat sosiologis. Misalnya pembunuhan sejak awal memang dianggap oleh masyarakat sebagai hal yang jahat (mala in se) kemudian dilarang oleh UU (c.q. KUHP). Namun ada perbuatan tertentu yang pada awalnya tidak dianggap sebagai kejahatan namun belakangan dinyatakan oleh UU sebagai perbuatan jahat (mala pro hibita) seperti penggelandangan.

Kebebasan pembentuk UU untuk memilih materi yang akan dijadikan UU harus diatur demi mewujudkan kesesuaian antar undang-undang dan kepastian hukum. Untuk menjamin agar dua atau lebih UU tidak mengatur hal yang sama secara berbeda maka disepakati norma tertentu yang akan menjadi acuan/ dasar. Dalam perspektif positivisme, hal demikian disebut Hans Kelsen sebagai teori hierarki/jenjang norma (Stufenbau Theori) dan disebut Hans Nawiasky sebagai teori hierarki jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen).


Gagasan Hans Kelsen yang disempurnakan Hans Nawiasky pada pokoknya menyatakan bahwa suatu norma hukum yang lebih rendah, dalam pembentukannya harus mengacu kepada norma hukum yang lebih tinggi. Adapun norma yang lebih tinggi menjadi acuan/dasar bagi pembentukan norma yang lebih rendah Semakin tinggi posisi suatu norma maka sifatnya akan lebih abstrak, sementara norma yang semakin rendah bersifat semakin teknis Adapun norma dengan nilai tertinggi atau disebut norma dasar dalam suatu negara tidak memiliki acuan norma apapun di atasnya melainkan merujuk pada kondisi ”dianggap telah ada” atau pre-supposed atau given.

Teori hierarki norma ini diterapkan di Indonesia sehingga UU harus mengacu atau bersesuaian dengan UUD 1945. Hal demikian karena rakyat Indonesia bersepakat untuk menempatkan UUD 1945 sebagai norma dasar negara (staatsgrundnorm), bahkan ditempatkan sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) mengingat Pancasila yang berfungsi sebagai norma fundamental bagi pembentukan pasal-pasal ”batang tubuh” UUD 1945 dirumuskan/ dituliskan di dalam Pembukaan UUD 1945

Teori hierarki norma tersebut dianut dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur jenjang perundang-undangan di Indonesia dari tingkat tertinggi menuju terendah adalah i) UUD 1945; ii) Ketetapan MPR; iii) UU/PERPU; iv) Peraturan Pemerintah; v) Peraturan Presiden; vi) Perda Provinsi; dan vii) PERDA Kabupaten/Kota.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.