Aspek Sosial Pernikahan Dini
Idealnya semua perempuan menginginkan keadilan
dan persamaan pada segala dimensi kesehariannya, seperti di bidang politik,
ekonomi, dan sosial. Namun harapan itu hanya sebatas mimpi yang sulit untuk
diwujudkan. Pada dimensi sosial misalnya, perempuan seringkali tersobordinasi
oleh realitas yang meminggirkan perannya di wilayah publik
Ketidaksetaraan itu muncul ketika perempuan
harus menikah dan mengerjakan pekerjaan domestik, serta mengabaikan peran
publik. Bahkan, pada kasus pernikahan dini, umumnya perempuan tidak memiliki
kecakapan hidup (life skill) yang
memadai untuk berperan aktif dalam tataran relasi sosial. Hal ini disebabkan
perempuan yang menikah di usia dini tersebut berpendidikan rendah. Sehingga
menyebabkan
potensinya
tenggelam dan keterbatasan memasung kreativitasnya. Pasungan itu bisa
diciptakan oleh dirinya sendiri atau muncul dari proteksi orang-orang dekatnya.
Misalnya, pembatasan suami yang tidak memperbolehkan isterinya melanjutkan
sekolah tinggi, atau sekedar mendapatkan pendidikan non-formil lainnya.
Alasannya bisa beragam faktor ekonomi, beban urusan domestik, dan untuk
melindungi perempuan secara berlebihan dari kepayahan
Pada pernikahan di bawah umur, yang sering
menjadi masalah adalah pendidikan yang tidak memadai baik dari pihak suami
maupun isteri. Secara ekonomi mereka pun belum mapan, keterampilan mereka belum
memadai dan mencukupi untuk bekerja, sehingga permasalahan tersebut
berimplikasi pada kehidupan setelah pernikahan yang mengharuskan perempuan
untuk bersaing dan bekerja keras memenuhi tuntutan hidup.
Perempuan mempunyai
kerja dobel, yakni bekerja di wilayah domestik dan bekerja di publik mencari nafkah.
Pilihan pekerjaan pada usia dini pun bersifat serabutan dan kasar, seperti
bekerja sebagai pembentu rumah tangga, menjadi tenaga kerja di sektor
industri/pabrik, atau menjadi buruh tani. Kondisi ini membuat keprihatinan yang
mendalam apabila perempuan tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bekerja.
Dan apabila hal seperti ini terus dilestarikan, maka akan membuat mata rantai
kemiskinan di Indonesia semakin kuat dan kemiskinan adalah permasalahan sosial
yang tiada habisnya di negara ini
Secara kultural perempuan pedesaan lebih banyak
bekerja baik secara fisik maupun psikis yang biasanya akan mengalami risiko
kekurangan gizi, terganggunya kesehatan, dan hidup miskin karena gaji yang
sangat rendah digunakan oleh anggota keluarga. Belum lagi jika mereka
menghadapi masalah serius dalam rumah tangganya yang berujung pada perceraian.Perceraian tersebut tentu membawa dampak moral yang berat dan rasa trauma yang
mendalam bagi pelaku nikah di bawah umur tersebut. Terlebih jika harus
menanggung tanggapan masyarakat sekitar yang bermacam-macam dan tidak semuanya
baik serta menyenangkan, hal ini menambah problem yang kompleks akibat
perkawinan di bawah umur.
Demikian menurut analisa penulis, secara
sosial pernikahan di bawah umur sebaiknya tidak dilakukan. Karena pada usia
yang masih muda seseorang belum mampu menanggung beban serta tanggung jawab
dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, dan berbangsa dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar