mediasi pada masa nabi dan sahabat
Diantara masalah yang dihubungkan oleh para
fuqaha dengan lembaga peradilan ialah tahkim. Tahkim yaitu menyerahkan diri
atau urusan kepada orang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu
dengan menyenangkan kedua belah pihak.
Secara bahasa, tahkim berasal dari bahasa Arab
yang berarti menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu. Selain
itu, tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk
untuk mendamaikan sengketa yang terjadi di antara dua belah pihak atau lebih.
Tahkim yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa para pihak,
dengan memberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator) sebagai
penengah atau sebagai orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua
belah pihak yang bersengketa itu,sedangkan tahkim menurut penetapan hukum fiqih
adalah mengangkat seseorang menjadi hakim yang berfungsi sebagai hakam antara
kedua belah pihak yang sedang bertengkar atau yang sedang berkhusumat.
Orang yang diserahkan hukum kepadanya disebut
hakam atau muhakam. Hakam atau muhakam adalah orang yang diminta untuk memberi
putusan. Syariat islam membenarkan
penyerahkan putusan hukum kepada seorang muhakam.
Lebih lanjut, Nurnaningsih Amriani menjelaskan
bahwa hakam mempunyai arti yang sama dengan mediasi. Dalam sistem hukum islam
hakam biasanya berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perkawinan yang
disebut syiqaq. Mengenai pengertian hakam, para ahli berbeda-beda.
Namun, dari pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa hakam
merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang terjadi di
antara suami-istri sebagai pihak yang akan menegahi atau menyelesaikan sengketa
diantara mereka
Praktik Mediasi Rasulullah SAW.
Secara historis, penyelesaian sengketa melalui
cara mediasi telah lama dikenal dalam praktek hukum islam. Hukum islam yang
dimaksud disini adalah hukum yang sumbernya dari wahyu Allah. Penegasan ini
dimaksudkan untuk membedakan hukum lainnya yang sumberya bukan wahyu dari
Allah, tetapi dari hasil pemikiran manusia. Karena itu, hukum islam tidak
terbatas pada hukum yang diberlakukan di negara-negara yang berada di kawasan
Timur Tengah, tetapi juga yang berlaku di negara yang ada di luar kawasan
tersebut, yakni negeri-negeri muslim seperti di Indonesia, Malaysia, Brunei dan
lainnya asal ia bersumber dari wahyu Allah, walaupun tidak menggunakan nama
“hukum islam”.
Tahkim
sebenarnya telah dipraktikkan sejak masa awal islam. Rasulullah sendiri telah
mempraktikkannya, misalnya ketika Rasulullah SAW menerima putusan Sa’ad ibn
Muadz mengenai Bani Quraidhah. Demikian juga pertengkaran antara Umar ibn
Khattab ra dengan Ubay ibn Ka’ab tentang kebun kurma, perkaranya ditahkimkan
oleh Zaid ibn Tsabit. Semua sahabat sepakat menerima keputusan hakam dan
membenarkannya. Praktik penyelesaian sengketa melalui tahkim ini diabadikan
dalam Al-Quran dalam Surah An-Nisa ayat 35 dan ayat 128, Surah Al-Hujarat ayat
9 dan 10. Dalam kasus perselisihan antara suami istri dan kasus lain yang
terjadi di kalangan umat islam.
Di samping ayat-ayat yang menunjuk pada kasus
mediasi untuk mendamaikan para pihak yang terlibat sengketa, juga terdapat
hadist yang menjelaskan tentang tahkim dalam suatu kasus persengketaan. Di
antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur dan Ibnu Jarir
dari Abu Malik yang menyatakan bahwa: “Dua orang lelaki muslim saling memaki
dan menghina yang menyebabkan dua kelompok bertengkar. Lalu terjadi saling
memukul di antara mereka dengan menggunakan tangan dan terompah mereka.” Hadist
ini sesungguhnya menceritakan tentang sebab-sebab turunnya ayat 9 dan 10 Surah
Al-Hujarat di atas.
Praktik tahkim ini juga pernah dilakukan dalam
kasus yang terjadi antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Sufyan dalam
perang Shiffin. Mediasi tersebut dikenal
dengan Majlis Tahkim Daumatul Jandal. Walaupun dalam mediasi ini kelompok Ali
ibn Abi Thalib yang diwakili Abu Musa Al Asy’ary, seorang sahabat yang sangat
wara’ dan sangat lurus, menederita kekalahan karena tipu muslihat yang
dilakukan pihak Muawiyah ibn Abi Sufyan yang diwakili ahli siasat dalam
peperangan, yakni Amru bin Ash.
Praktik mediasi itu lebih jelas lagi apabila mencermati kasus-kasus
perselisihan, percekcokan, dan petengkaran (syiqaq) dalam lingkup kehidupan
keluarga yang secara tekstual dinyatakan
dalam Surah An-Nisa ayat 35 dan 128. Teknis mengenai proses mediasi dalam
masalah tersebut sangat jelas dan rinci sebagaimana diatur dalam Surah An Nisa
tersebut.
Menurut Prof. Dr. Syahrizal Abbas Rasulullah
SAW telah melakukan praktik mediasi pada peristiwa peletakan kembali Hajar
Aswad dan perjanjian Hudaibiyah. Kedua peristiwa tersebut memiliki nilai dan
strategi resolusi konflik dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiliki
perspektif yang sama yaitu mewujudkan perdamaian.
Kejadian pertama berupa peletakan kembali Hajar
Aswad (batu hitam) berlangsung sebelum pewahyuan Al-Quran kepada Nabi Muhammad
SAW. Ketika itu ia hanya dipandang sebagai manusia biasa yang secara potensial
mengarah kepada kekerasan dan pertumpahan darah. Peristiwa kedua berupa
perjanjian Hudaybiyah terjadi ketika Nabi Muhammad SAW kembali Ke Mekkah
sebagai pemenang dan pemimpin poilitik yang berkuasa setelah pengasingan yang
lama di Madinah. Kejadian ini dapat dipandang sebagai tahap akhir dari konflik
keras dan berkepanjangan yang dialami Nabi Muhammad SAW. Nilai dan strategi
penyelesaian sengketa dapat diidentifikasikan dari tindakan Nabi Muhammad SAW
pada kedua peristiwa tersebut. Peristiwa pertama dilakukan Nabi Muhammad dalam
kapasitas sebagai individu yang tidak memiliki kekuasaan politik, sedangkan
dalam peristiwa kedua, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pemimpin politik
yang berkuasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar