KONSEP NEGARA KONSTITUSIONAL
Perumusan UUD yang
baru, baik dalam bentuk amandemen sekarang ini apalagi kalau bisa perubahan
menyeluruh dan mendasar, haruslah mengacu kepada konsep pemerintahan
konstitusional karena memang sudah menjadi aspirasi dari perjuangan kemerdekaan
bangsa. Hal ini nampak bukan saja dari sejarah perjuangan pra kemerdekaan,
periode revolusi, maupun selama tahun 1950-an, bahkan mencapai puncaknya pada
perdebatan majelis konstituante yang memang diberi mandat oleh rakyat Indonesia
untuk merumuskan UUD baru yang definitif.
Namun demikian, untuk
dapat merumuskan UUD yang benar-benar mengacu kepada pemerintahan
konstitusional, maka semua pikiran-pikiran lama yang bersumber pada paham
(konsep) negara integralistik dari Prof. Soepomo harus dibersihkan dari benak
kepala kita. Kerancuan yang terjadi selama ini disebabkan karena masih adanya dualisme
dalam konsep pemikiran ketatanegaraan kita.
Di satu pihak, ada
keinginan yang kuat untuk memajukan kehidupan bernegara modern yang mengacu
kepada prinsip-prinsip universal tentang demokrasi konstitusionalisme, the
rule of law, maupun jaminan hak asasi manusia. Akan tetapi celakanya secara
sadar ataupun tidak, sengaja ataupun tidak, kita sering kembali kepada
pikiran-pikiran partikularistik yang menjadi ciri negara integralistik.
Yang dimaksudkan di
sini adalah pikiran-pikiran yang menghendaki misalnya negara persatuan dalam
pengertian sebagai satu kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia dan negaranya
dari Sabang sampai Merauke. Artinya, persatuan Indonesia ditafsirkan secara
ketat, monolitik, solid, atau manunggal ibarat tubuh manusia antara kepala dan
badan dari Sabang sampai Merauke. Sehingga, segala pikiran atau gagasan untuk
mencari alternatif bentuk lainnya lebih terbuka dan luwes. Jangankan federasi,
bahkan otonomi yang seluas-luasnya pun dikhawatirkan akan memecah belah
Indonesia atau merobek-robek bangsa.
Pemikiran yang keliru
lainnya adalah dalam hal pembagian kekuasaan negara. Seharusnya, pembagian ini
lebih tegas dan definitif sesuai asas trias politika. Kekuasaaan yudikatif,
termasuk Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, seharusnya independen, bebas,
mandiri, dan tidak memihak. Namun, pernah ada pikiran bahwa Mahkamah Agung
wajib memberikan pertanggungjawaban kepada MPR
.
Yang paling parah,
kedaulatan rakyat yang di manapun di dalam sistem demokrasi senantiasa dipegang
oleh rakyat dan tidak pernah diserahkan sepenuhnya kepada orang lain atau
cabang kekuasaan lainnya (eksekutif, legislative dan yudikatif), di Indonesia
masih saja dipersepsikan seolah-olah dengan adanya lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka MPR lah yang menjalankan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Sehingga, rakyat tidak lagi berdaulat, kecuali lima tahun
sekali menyerahkan hak suaranya melalui Pemilu kepada DPR/MPR.
Pikiran ini, menurut
saya bukan saja feodal otoriter, melainkan mencerminkan sisa-sisa paham
integralistik. Maka, perlu dipikirkan apakah lembaga MPR ini masih akan
dipertahankan jika kita benar-benar ingin kembali kepada asas kedaulatan rakyat
yang sepenuhnya di tangan rakyat.
Di dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikemukakan secara tegas seperti tersebut
pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan
Pasal 1 ayat (2) menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”.
Negara hukum yang
didasarkan atas kedaulatan rakyat tersebut adalah dasar suatu sistem dari
Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mempunyai tujuan “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan ... dan keadilan sosial ...” sesuai dengan
pembukaan konstitusi.
Uraian di atas hendak
menegaskan, negara hukum harus didasarkan pada kedaulatan rakyat dan ditujukan
untuk kepentingan perlindungan segenap bangsa serta mewujudkan kesejahteraan.
Konsep, kerangka teoritik, serta prinsip negara hukum yang antara lain
meliputi: asas legalitas, persamaan dalam hukum, pembatasan kekuasaan,
perlindungan hak asasi, peradilan yang bebas dan tidak memihak seyogianya
ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Pada konteks itu, organ
kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman tidak hanya dipersyaratkan harus
merupakan kekuasaan yang bebas dan tidak memihak saja, tetapi juga harus
berpihak dan bertujuan untuk melindungi kepentingan dari rakyat sang pemilik
kedaulatan. Montesquieu sebagai French Jurist di dalam The Spirit of the Laws
(1748) mengemukakan ide constitutionalism yang dihubungkan the separation of
powers dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman menyatakan “... the judiciary
should be independent of the legislature and executive ...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar