Proses Pemakzulan President

Sejak pemerintahan jokowi berlangsung tepatnya setelah dilantiknya president joko widodo  indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan terutama mengenai persatuan bangsa terlebih kepada setuan kepemerintahan yang sangat kacau balau karena terjadi betbagai macam konflik internal ditubuh eksekutif,  legislatif dan berlanjut sampai saat ini, belum lagi isu pecahnya persatuan partai yang dimana menjadi pengendali anbgota partai yang menjabat di pemerintahan semua dikendalikan oleh partai, tapi apa jadinya jika dalam partai sendiri sudah mengalami  konflik yang mengganggu stabilitas anggota partai.

Isu pemakzulan jokowi semakin mencuat seiring dengan konflik yang terjadidi tubuh polri yang sampai saat ini belum mempunyai penggari pak sutarman, progres 98 ialah salah satu pergerakan yang memprakarsai pemakzulan jokowi yang menentang  cara pemerintahan dan putusan yang dilinai merugikan bangsa, terlebih banyak. Terjadi konflik di tubuh pemerintahan, itulah salah satu faktor semakin gencarnya isu pemakzulan jokowobodo.

Ada beberapa proses tahapan dalam proses pemakzulan atau yang dikenal impeachment yang menjadi promotornya ialah DPR, berikut proses pemakzulan yang akan mulai bersangsung mungkin tahun 2015 ini.

Bangsa indonesia pada masa reformasi mencapai keberhasilan dalam penyempurnaan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap rangkaian perubahan. Perubahan- perubahan yang dilakukan cukup luas dan mendasar, baik dari segi kualitas dan kuantitasny. Terbukti dengan adanya Impechment yangterdapat dalam pasal 7A perubahan ketiga UUD 45.

Pejabat negara yang dapat di- impeach di Indonesia menurut UUD setelah perubahan hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berbeda dengan aturan di negara lain dimana mekanisme impeachment bisa dilakukan terhadap pejabat-pejabat tinggi negara. Misalkan di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden serta Pejabat Tinggi Negara adalah objek yang dapat dikenakan tuntutan impeachment sehingga dapat diberhentikan. Pengaturan bahwa hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat pada pasal 7A UUD 1945 yang menyebutkan “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapatdiberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat,...”
Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga)
tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan
pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam
menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan
kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana
dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR
menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan
impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 [3]
[3] maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya
(tata tertib DPR) mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada
MK.

Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib
memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut.
Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak
pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi
putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka
tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945
memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan
pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses
impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR.
Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke
MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam sidang
paripurna DPR.

Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil
suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara
pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD
1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurang-
kurangnya ¾ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus disepakati
oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam
rapat paripurna.

Kemudian terkait dengan ketentuan dan prosedur
Impeachment yang ada dalam UUD 1945, sebelum dan sesudahnya
perubahan ketiga juga memiliki perbedaan. Sebelum perubahan
ketiga, ada dua lembaga yang terlibat dalam proses impeachment,
yiatu DPR dan MPR. DPR berwenagn mengontrol kekuasaan
eksekutif. Jika dianggap melanggar haluan negara, DPR dapat
mengajukan memorandum I dan II. Jika dua bulan setelah
memorandum ke II, mayoritas DPR tidak puas terhadap respon
presiden, mereka dapat mengajukan permohonan sidang istimewa
kepada MPR.

MPR kemudaian menetapkan jadwal sidang dan meminta
presiden untuk menyampaikan pertanggungjawabannya. Setelah
mendegarkan keterangan pesiden MPR akan mengadakan voting
apakah presiden di impeach atau tidak..
Setelah amandemen UUD 45 yang ketiga barulah prosedur
mengenai impeachment , muncul satu lembaga lagi yang terlibat
dalam prosedur impeachment , yaitu Mahkamah Konstitusi. Dimana
DPR mengajukan kasus impeachment terhadap Mahkamah
Konstitusi. Dalam hal ini, DPR meminta Mahkamah Konstitusi
menginvestigasi dan memutuskan, apakah presiden melanggar
hukum atau tidak.

Proses Impeachment
Proses Impeachment di DPR

UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. [5] [5] Atas
dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat
mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah
dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat.”

Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari
hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR.
Mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat ini diatur dalam
pasal 182 sampai dengan pasal 188 Peraturan Tata Tertib DPR
(Keputusan DPR nomor 15/DPR RI/I/2004-2005).
Pertama-tama, minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang
anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat
mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat
beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada
Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan
kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat
Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh
Anggota.

Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat
Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan
Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna
berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas
penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul
menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan
kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara
ringkas.
Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya
pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan
pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau
wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan
atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk
menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian,
kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment
diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.
Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan
hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima
atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak
usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat
diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat
Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR
kemudian membentuk Panitia Khusus.

Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan dengan
Presiden dan atau Wakil Presiden. Dalam melakukan pembahasan
atas tuduhan impeachment kehadiran Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak dapat diwakili. Hal ini berkaitan dengan hak
subpoena yang dimiliki oleh Panitia Khusus dalam rangka hak
angket atau hak menyatakan pendapat. Hak subpoena adalah
memanggil secara paksa seseorang yang dirasakan perlu didengar
keterangannya pada penyelidikan yang dilakukan panitia khusus.
Bilamana yang bersangkutan tidak hadir dalam pemanggilan yang
dilakukan oleh Panitia Khusus maka ada ancaman sandera selama
15 (lima belas) hari. Pengaturan ini adalah aturan lebih lanjut dari
ketentuan pasal 30 UU nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Meskipun pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
namun proses penyelidikan yang dilakukan oleh DPR adalah dalam
konteks fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat yang
diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Sehingga proses

penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti sedang
menyelidiki perkara pidana sebagaimana yang dilakukan oleh
penyelidik, penyidik atau penuntut umum. Proses penyelidikan
pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh
DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam
peraturan tata tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam
melakukan pembahasan juga dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat
Dengar Pendapat, dan/atau Rapat Dengar Pendapat Umum dengan
pihak yang dipandang perlu, termasuk dengan pengusul.
Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui
atau menolak pernyataan pendapat tersebut.

Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna
harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak
pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/
3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut.
Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan
impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada
MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK
memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian
menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Poses Impeachment di MK

Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di
MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR
atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/
atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti
tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas
tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses
impeachment di MK adalah pendapat DPR.

MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan
atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat
paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses
impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum.
Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK
atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing
untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit
dalam pasal 80 ayat (1) bahwa ”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi,
permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan mewakili
DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa
hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?
Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum
mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara
di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya. [6] [6] Berarti
DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK
juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya
dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk
memberikan keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis
Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk anggota-
anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR
ketika penyusunan tuduhan impeachment . Misalnya anggota-
anggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun
anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan
pembahasan tuduhan impeachment di DPR

Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam proses impeachment di MK?
Dari seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan
kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya
ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang
secara eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan
MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa
selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh
pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat
adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain
pemohon dalam persidangan bukanlah untuk saling berhadapan
dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi Majelis
Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check )
ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.

Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK
kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK
bukanlah sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam persidangan MK adalah hak bukanlah
kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengalami
tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam
persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau
Wakil Presiden menganggap bahwa pendapat maupun keterangan
yang diberikan oleh DPR dalam persidangan MK tidak benar.
Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK
maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk
didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk
mencegah adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/
atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana
Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk
memberikan keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus
yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR.

Proses Impeachment di MPR

Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat
DPR maka DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR. MPR setelah menerima usul DPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR menerima
usulan tersebut.Tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur
dalam bab XV (pasal 83) mengenai Tata Cara pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya
Peraturan Tata Tertib (Keputusan MPR RI nomor 7/MPR/2004
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan MPR RI nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan
Peraturan Tata Tertib MPR RI).

Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota MPR untuk
mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan
oleh DPR. Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau
Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan
dengan usulan pemberhentiannya didalam rapat Paripurna Majelis.
Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk
memberikan penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan
penjelasan, maka Majelis tetap mengambil putusan terhadap usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan
MK dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak.
Persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam
rapat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah Anggota
Majelis (kuorum), dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi kuorum.

Alasan Impeachment

Alasan-alasan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden diatur secara rinci oleh UUD 1945. Hanya saja contoh-
contoh perbuatan atau penafsiran atas bentuk-bentuk perbuatan
yang diatur dalam UUD tersebut masih merupakan subyek
perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang
baru mengadopsi ketentuan tentang proses impeachment , namun
perdebatan ini juga terjadi pada negara-negara yang telah
mengadopsi mekanisme impeachment sejak lama. Misalkan saja di
Amerika Serikat, perdebatan atas penafsiran kata high crimes dan
misdemeanor[7][7] masih merupakan perdebatan yang panjang dan
tidak ada suatu bentuk batasan atas perbuatan konkrit yang
menunjukkan pada pelaksanaan perbuatan tersebut sehingga
seorang Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara
Amerika Serikat dapat dituntut atas perbuatan tersebut. Penafsiran
kata atas perbuatan tersebut diserahkan kepada DPR (House of
Representatives) sebagai landasannya untuk menuntut Presiden,
Wakil Presiden dan Pejabat Tinggi Negara dan kata akhir atas
penafsiran high crimes dan misdemeanor menjadi kewenangan
hakim dalam pengadilan impeachment untuk mengambil putusan
apakah benar Presiden, Wakil Presiden dan/atau Pejabat Tinggi
Negara tersebut telah melakukan high crimes dan misdemeanor.
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa alasan-alasan
impeachment adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penjabaran atas bentuk-bentuk perbuatan sebagai alasan
impeachment tersebut diatur dalam UU yang mengatur mengenai
masalah-masalah itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat
(3) UU nomor 24 tahun 2003 tentang MK. Berikut ini adalah alasan-
alasan impeachment dengan bentuk-bentuk perbuatan yang diatur
dalam UU-nya :

. Pengkhianatan Terhadap Negara : UU nomor 24 tahun 2003, Pasal
10 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa yang dimaksud
pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU. Mengenai
kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur dalam KUHP
buku II tentang Kejahatan pada Bab I Kejahatan terhadap
Keamanan Negara, disebutkan dalam pasal 104 sampai dengan 129
serta UU nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.

Korupsi dan Penyuapan: UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10 ayat
(3) huruf b menyebutkan bahwa yang dimaksud korupsi dan
penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam UU.

Tindak Pidana Berat Lainnya: UU nomor 24 tahun 2003, Pasal 10
ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa yang dimaksud tindak pidana
berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Perbuatan Tercela: UU nomor 24 tahun 2003 Pasal 10 ayat (3)
huruf d menyebutkan bahwa yang dimaksud perbuatan tercela
adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/
atau Wakil Presiden.

Tidak Lagi memenuhi Syarat Sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden UU nomor 24 tahun 2003 Pasal 10 ayat (3) huruf e
menyebutkan bahwa yang dimaksud tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.